Yah pagi itu warna laut yang menyatu dengan langit biru di sisi - sisi tak
terjangkau meneduhkan mata. Terlalu lama hidup di belantara beton
Jakarta membuat saya kaku, kikuk entah harus bagaimana mengungkapkan
kegembiraan serta kekaguman yang sudah sangat ku kenali. Tersentak entah
dari lamunan yang mana, “aku pernah hidup disini”.
“Kapal Putih”, sebutan untuk kapal PELNI dengan nama KM. CIREMAI
melaju perlahan di atas permukaan air yang tenang di teluk Banda.
Kontras dengan suasana pelabuhan yang sudah seperti pasar. Ramai. Hari
itu, setelah delapan tahun memendam rindu, akhirnya semua tumpah begitu
saja. Aku pulang ke “rumah”. Banda Neira.
“Pelabuhan Banda Neira”
Aku bergegas.
Langkah - langkah panjangku segera menemui senyum hangat warga setempat.
Tak asing memang. Aku lahir disini, meski dalam perjalanan bertumbuh
dewasa kuhabiskan di belahan lain bumi indonesia, Merauke - Papua.
Peluk, cium, air mata kerinduan lalu tumpah begitu saja. Entahlah. Waktu
delapan tahun seperti begitu cepat terlewati. Ah, pikiranku bahkan
masih mampu menangkap kaki - kaki kecil berlarian sepanjang aspal jalan -
jalan di kota ini. Banda Neira, rinduku ternyata sudah tak lagi mampu
ku bendung.
“Di ujung Runway Bandara Banda”
Kakiku menapak pasir Malole. Matahari terik namun tak sedikitpun
menyengat. Pantai ini, meski tak sebagus Kute di Bali atau Anyer di
Banten, tetap menjadi salah satu pantai paling nyaman, paling tenang
untuk di kunjungi. Pasirnya tak seputih pasir pantai pada umumnya, tapi
bagi kami, bagiku, yang bertumbuh dari sini, ada hal lain yang lebih
penting dibanding warna pasir pantai. Kenangan. Itu tak terbeli, kawan.
Namun Banda tak hanya Malole. Kau tau buah pala yang menarik belanda
datang dan menjajah negeri kita ini? Banda adalah rumahnya. Banda
meupakan penghasil pala dengan kualitas terbaik di dunia. Tak heran,
Belanda rela menukar sebuah pulau kecil di Banda Neira bernama Pulau Run
dengan Manhattan pada Inggris. Ah, pala juga yang membuka jalan
penjajahan di negri ini. Jika pada buku sejarah mencatat penjajahan
terjadi selama 350 tahun, maka di Banda, hal serupa berlangsung lebih
lama 150 tahun. Di Banda, bermula segala macam teori perjuangan bangsa
ini. Di Banda, bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia.
“Pala Banda”
Banda pula
menyimpan catatan panjang sejarah bangsa ini. Beberapa tokoh “Bapak
Bangsa” pernah diasingkan disini. M. Hatta ; Dr. Cipto Mangunkusumo dan
Syahrir pernah menghabiskan sepenggal masa hidup mereka dalam
“pembuangan” di pulau kecil ini. Jika kemudian lahir tokoh besar
semisal Des Alwi Abubakar, itu tak lepas dari peran ketiga “bapak
bangsa” yang “dibuang” Belanda ke Banda Neira.
Banda masih pula
sederhana. Belum banyak berubah. Masih seramah ketika dulu kuhabiskan
masa anak - anakku disini. Jalan - jalannya masih sama. Bangunan tua
dengan arsitektur khas Eropa masih banyak dan terawat dengan baik.
Istana Mini yang merupakan “kakak” dari istana merdeka di Jakarta masih
berdiri kokoh menghadap pulau Banda Besar. Tak habis jika kuceritakan
hingga tuntas. Keindahan “surga” ini, hanya akan kau temui jika kau
berkunjung kesana. Pergilah. Temuilah apa yang menjadikan bangsa ini
ada. Jika dalam lagu, Indonesia adalah dari Sabang sampai dengan
Merauke, maka Banda adalah inti dari “apa yang kemudian menjadikan lagu
itu ada”. Mungkin begitu.
Cukup. Apa yang
kutulis adalah apa yang membekas di dalam kepala. Aku hanyalah anak
kecil yang mencoba menghadirkan kembali masa anak - anak serta sejarah
tempat dimana ia lahir. Aku hanya memperkenalkan. Sisanya, tugasmu
menguliti lebih jauh.
Buat kalian yang
mengaku turis, wisatawan, traveler atau apapun itu, jangan mati sebelum ke banda neira.
Jumat, 08 Mei 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar