Jumat, 08 Mei 2015

Jangan mati sebelum ke Banda Neira

Yah pagi itu warna laut yang menyatu dengan langit biru di sisi - sisi tak terjangkau meneduhkan mata. Terlalu lama hidup di belantara beton Jakarta membuat saya kaku, kikuk entah harus bagaimana mengungkapkan kegembiraan serta kekaguman yang sudah sangat ku kenali. Tersentak entah dari lamunan yang mana, “aku pernah hidup disini”.
“Kapal Putih”, sebutan untuk kapal PELNI dengan nama KM. CIREMAI melaju perlahan di atas permukaan air yang tenang di teluk Banda. Kontras dengan suasana pelabuhan yang sudah seperti pasar. Ramai. Hari itu, setelah delapan tahun memendam rindu, akhirnya semua tumpah begitu saja. Aku pulang ke “rumah”. Banda Neira.

“Pelabuhan Banda Neira”

Aku bergegas. Langkah - langkah panjangku segera menemui senyum hangat warga setempat. Tak asing memang. Aku lahir disini, meski dalam perjalanan bertumbuh dewasa kuhabiskan di belahan lain bumi indonesia, Merauke - Papua. Peluk, cium, air mata kerinduan lalu tumpah begitu saja. Entahlah. Waktu delapan tahun seperti begitu cepat terlewati. Ah, pikiranku bahkan masih mampu menangkap kaki - kaki kecil berlarian sepanjang aspal jalan - jalan di kota ini. Banda Neira, rinduku ternyata sudah tak lagi mampu ku bendung.

“Di ujung Runway Bandara Banda”
Kakiku menapak pasir Malole. Matahari terik namun tak sedikitpun menyengat. Pantai ini, meski tak sebagus Kute di Bali atau Anyer di Banten, tetap menjadi salah satu pantai paling nyaman, paling tenang untuk di kunjungi. Pasirnya tak seputih pasir pantai pada umumnya, tapi bagi kami, bagiku, yang bertumbuh dari sini, ada hal lain yang lebih penting dibanding warna pasir pantai. Kenangan. Itu tak terbeli, kawan.
Namun Banda tak hanya Malole. Kau tau buah pala yang menarik belanda datang dan menjajah negeri kita ini? Banda adalah rumahnya. Banda meupakan penghasil pala dengan kualitas terbaik di dunia. Tak heran, Belanda rela menukar sebuah pulau kecil di Banda Neira bernama Pulau Run dengan Manhattan pada Inggris. Ah, pala juga yang membuka jalan penjajahan di negri ini. Jika pada buku sejarah mencatat penjajahan terjadi selama 350 tahun, maka di Banda, hal serupa berlangsung lebih lama 150 tahun. Di Banda, bermula segala macam teori perjuangan bangsa ini. Di Banda, bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia.

“Pala Banda”

Banda pula menyimpan catatan panjang sejarah bangsa ini. Beberapa tokoh “Bapak Bangsa” pernah diasingkan disini. M. Hatta ; Dr. Cipto Mangunkusumo dan Syahrir pernah menghabiskan sepenggal masa hidup mereka dalam “pembuangan” di pulau kecil ini. Jika kemudian lahir  tokoh besar semisal Des Alwi Abubakar, itu tak lepas dari peran ketiga “bapak bangsa” yang “dibuang” Belanda ke Banda Neira.

Banda masih pula sederhana. Belum banyak berubah. Masih seramah ketika dulu kuhabiskan masa anak - anakku disini. Jalan - jalannya masih sama. Bangunan tua dengan arsitektur khas Eropa masih banyak dan terawat dengan baik. Istana Mini yang merupakan “kakak” dari istana merdeka di Jakarta masih berdiri kokoh menghadap pulau Banda Besar. Tak habis jika kuceritakan hingga tuntas. Keindahan “surga” ini, hanya akan kau temui jika kau berkunjung kesana. Pergilah. Temuilah apa yang menjadikan bangsa ini ada. Jika dalam lagu, Indonesia adalah dari Sabang sampai dengan Merauke, maka Banda adalah inti dari “apa yang kemudian menjadikan lagu itu ada”. Mungkin begitu.

Cukup. Apa yang kutulis adalah apa yang membekas di dalam kepala. Aku hanyalah anak kecil yang mencoba menghadirkan kembali masa anak - anak serta sejarah tempat dimana ia lahir. Aku hanya memperkenalkan. Sisanya, tugasmu menguliti lebih jauh.

Buat kalian yang mengaku turis, wisatawan, traveler atau apapun itu, jangan mati sebelum ke banda neira.

0 komentar: