Jumat, 08 Mei 2015

Sejarah Musik keroncong


Dari sejarah perkembangannya, musik ini diperkirakan berasal dari Portugis yang dibawa ke Indonesia sekitar abad ke-16. Ketika itu, para pedagang Portugis, terutama kaum peranakan dan budak, memperkenalkansajian musik dengan permainan alat musik seperti ukulele, gitar, dan cello tanpa penyanyi. Dalam perkembangannya, musik ini mengalami pengaruh dari musik-musik daerah di Jawa seperti Jakarta, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Pada saat itu pula, sajian musik ini tidak lagi terbatas pada permainan alat musiknya tetapi juga disertai dengan nyanyian oleh seorang biduan.
Musik inipun semakin diterima masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa yang ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok musik keroncong di berbagai daerah di Jawa. Bahkan, musik ini sering dimainkan di pinggir-pinggir jalan di malam hari. Secara umum, dalam permainan musik keroncong, harmoni musiknya sangat terbatas. Demikian pula dengan improvisasinyayang sangat dibatasi. Lagu-lagu umumnya memiliki bentuk  dan susunan yang sama. Syair-syairnya terdiri dari beberapa kalimat  (umumnya 7 kalimat) yang diselingi dengan permainan alat musik. Instrumen yang dipakai yaitu gitar melodi, bass, cello, ukulele, cak, biola, dan flute. Beberapa musisi keroncong Indonesia yaitu Gesang, Mus Mulyadi, Kelly Puspito, Hardiman, Sunarno, dan Mardjo Kahar.
          Musik dan lagu dalam sajian kroncong, banyak cengkok dan cenderung melambat dari ketukan yang asli. Keterlambatan dalam ketukan memang sengaja dilakukan karena untuk memperindah cengkok itu sendiri. Improvisasi dan ornamentasi dapat dilakukan dengan sangat bebas, asal masih dalam harmonisasi kroncong. Gaya vokal kroncong dapat mem-pengaruhi durasi berbagai frase, tergantung cara ‘ekspresi ber-lebihan’ atau vibrato. Lagu kroncong khas Indonesia (kroncong, langgam, stambul, langgam Jawa). Istilah kroncong dibawa orang Portugis ke Asia Tenggara sekitar abad 16, kemudian terdapat berbagai teori bahwa istilah tersebut dari unsur onomatopoetic, yaitu musik berbunyi seperti ‘crong-crong’ dan sampai sekarang dikenal sebagai musik kroncong. Struktur harmoni dan melodi keroncong kelihatan berasal dari music Barat, bahkan musik rakyat Portugis paling berperan. 
         
         Musik dengan kesan melankolis biasanya dipentaskan dengan dua jenis gitar (viola) dari Spanyol dan guitara dari Portugis. Jika viola memainkan melodinya, maka guitar memainkan akor-akor tonika-dominan-tonikadominan ….. secara terus menerus, subdominant dibunyikan hanya pada saat tertentu. Prinsip demikian menonjol pada kroncong, selain itu, gaya vokal diwarnai dengan vibrato yang keras (dianggap sebagai kuatnya ekspresi emosi). Standar alat musik kroncong antara lain: ukulele, banjo, gitar melodi, cello (dimainkan seperti gendang), kontra bas, biola serta flute. Secara formal kroncong asli berdasarkan suatu kerangka dengan 28 birama, dibagi masing-masing frase empat birama. Langgam kroncong kebanyakan dibagi empat frase, masingmasing dengan 8 birama (biasanya tanda birama 4/4) sesuai dengan prinsip langgam. Tokoh musik kroncong antara lain: Gesang, Kusbini, Anjarany dan lain-lain. Cara permainan ukulele dan banjo disebut onomatopoetic ‘cuk’ dan ‘cak’. Teknik permainan kurang lebih mirip ‘beat’ – ‘off-beat’. Lagu keroncong yang terkenal antara lain: Kr. Tanah Airku (Kelly Puspita), Lg. Bengawan Solo (Gesang), Stb. Baju Biru (Hardiman).
 Akulturasi Beragam Budaya


Seni Musik merupakan salah satu bentuk kesenian yang hampir dimiliki oleh setiap kebudayaan di dunia. Dengan beragam bentuk dan kekhasannya menjadikan musik sebagai identitas bagi suatu kebudayaan. Corak musik yang dimiliki oleh suatu kebudayaan tentunya berbeda dengan musik yang dimiliki kebudayaan lain. Apakah itu dari segi alat musik ataupun irama langgam lagu yang dimainkan. Pada masa sekarang musik telah menjadi bahasa yang mendunia (universal). Beberapa orang sangat menikmati alunan musik dan lagu dari suatu daerah tertentu, walaupun mereka tidak dapat memahami bahasa yang digunakan oleh si penyanyi.
Indonesia memiliki kekayaan dalam segi suku dan budaya. Dari keragaman budaya ini, patut kiranya kita ambil contoh musik sebagai salah satu bentuk dari keragaman budaya. Tentunya yang kami maksudkan disini ialah musik etnik bukan musik pop. Dalam hal ini kami akan mengambil contoh yang lebih kecil yaitu musik keroncong. Musik ini sangatlah unik karena tidak mencerminkan budaya dari salah satu daerah di Indonesia. Melainkan sebagai bukti dari percampuran dari beberapa budaya yang kemudian melahirkan musik yang khas Indonesia.
Lazimnya di Indonesia, sejarah selalu menuai perdebatan, begitu pulalah kiranya dengan Sejarah Musik Keroncong di Indonesia. Dalam tulisan ini akan dikemukakan salah satu versi dari sejarah kelahiran musik Keroncong. Di akhir tulisan akan coba kami bahas perihal Musik Keroncong di Kota Sawahlunto Sumatera Barat.

Musik Tuan & Para Budak
Portugis merupakan salah satu dari negara-negara Eropa yang merintis perjalanan ke Timur. Pada tahun 1512 di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque Bangsa Portugis mulai menginjakkan kakinya di nusantara. Tujuannya ialah Sumber Daya Alam yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang di Eropa ketika itu, yakni rempah-rempah. Alfonso mengomandani beberapa orang pelaut dan para budak. Para budak di dapat dari daerah kekuasaan Portugis di India yakni Gowa, Malabar, dan Benggali.
Setelah kejatuhan Malaka ke tangan Portugis maka berdiamlah di sana Bangsa Portugis beserta para budaknya tersebut. Para budak tersebut tidak hanya berasal dari India saja, karena semenjak kedatangan Portugis ke Ambon mereka juga membawa budak dari sana. Di Ambo-Maluku, Portugis sempat mengobarkan perang dengan Kerajaan Ternate dan Tidore. Hasil dari peperangan tersebut ialah Portugis terusir dari Maluku.
Malaka yang dikuasai Portugis menjadi benteng utama dalam menghadapi Kaum Moor yang juga terdapat di kepulauan ini. Selain untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah tentunya. Bandar terbesar di Nusantara ini jatuh ke tangan  Portugis pada tahun 1511, setahun lebih awal dari kedatangan mereka ke Indonesia. Di Malaka Portugis sempat membina kehidupan, beberapa peninggalan Bangsa Portugis masih dapat kita saksikan di kota itu hingga kini. Kemungkinan di Malaka inilah seni tradisional rakyat Portugis yang bernama fado tersebar kepada para budak.
Fado
Fado merupakan seni tradisional rakyat Portugis. Akar dari kata Fado merujuk ke bahasa Latin: fatum, dapat kita padankan dengan kata fate dalam Bahasa Inggris yang artinya ialah nasib. Karakteristik musik ini ialah irama dan syairnya yang sentimental-melankolis. Menceritakan mengenai lautan, kehidupan masyarakat miskin, ataupun persahabatan. Sebagian ahli berpendapat bahwa musik ini memiliki akar pada peradaban Bangsa Moor di Semenanjung Iberia pada masa silam.
Keadaan yang jauh dari kampung halaman bagi pelaut Portugis dan nasib sebagai budak yang ditahan oleh bangsa asing di negeri asing oleh para budak, telah membuka dan berkembangnya masuknya musik fado yang sentimental-melankolis. Pada perkembangannya musik ini tidak hanya dimainkan oleh Bangsa Portugis akan tetapi juga oleh para budak mereka dari Benggali, Malabar, Goa dan Maluku.
Pada tahun 1648 Belanda merebut Malaka dari Portugis. Banyak tawanan perang yang ditawan beserta para budak mereka dibawa ke Batavia yang pada masa itu merupakan pusat kekuasaan Belanda di Asia Tenggara. Para tawanan ini kemudian ditempatkan oleh Belanda pada suatu kawasan yang bernama Tanah Serani yang kelak bernama Kampung Tugu. Daerah ini berada di tepi laut, udaranya panas, dan sangat jarang ditemukan air asin. Kalaupun ada sumur, kebanyakan airnya asin pula.
Pada tahun 1661 para budak di Tanah Serani dibebaskan oleh Belanda dengan syarat mereka harus berpindah keyakinan dari Katholik yang merupakan agama resmi Bangsa Portugis ke Protestan yang menjadi agama resmi Bangsa Belanda. Di kampung baru mereka, para mantan tawanan perang dan budak Portugis ini menggeluti usaha di bidang pertanian, berburu, dan mencari ikan. Dalam waktu senggang, mereka sering teringat lagi akan nasib dan kampung halaman nun jauh di mata. Lantunan musik fado nan melankolis yang pernah mereka nyanyikan sewaktu di Malaka belumlah hilang dari ingatan. Mereka masih memiliki kepandaian bermusik, karena musik merupakan curahan jiwa, bentuk ekspresi diri akan kehidupan yang mereka jalani. Banyak penyair-nyair zaman lampau maupun zaman sekarang menciptakan musik dengan mengambil insipirasi dari realitas kehidupan yang mereka jalani.
Maka mulailah kembali mereka melantunkan musik fado yang telah menjadi identitas mereka kaum peranakan. Dengan menggunakan alat sederhana seperti rajao, biola, gitar, rebana, cello, dua jenis ukulele yakni cak dan cuk, dan seruling. Musik ini rupanya disenangi oleh banyak orang dan akhirnya berkembang.
Fado, Moresco, & Cafrinho
Terdapat suatu keanehan yang kami temui dalam mempelajari sejarah musik Keroncong, yakni ditemukannya dua jenis seni musik yang sama-sama berasal dari Portugis yang pertama iala fado, seperti yang kita jelaskan di atas dimana musik fado merupakan suatu seni musik yang berasal dari Bangsa Portugis yang memiliki karakteristik sentimental-melangkolis. Dimana syair-syair dari lagu ini menceritakan mengenai lautan, kehidupan masyarakat miskin, dan persahabatan. Atau pendek kata menceritakan mengenai parasaian hidup.
Sedangkan moresco merupakan suatu seni musik yang diiringi tarian, berasal dari Kejayaan Peradaban Islam di Andalusia. Seni ini juga terdapat di Portugis, karena beberapa Bangsa Moro berkulit hitam yang berasal dari Pantai Utara Afrika masih menetap di negara tersebut. Selain moresco juga dikenal morisca yakni salah satu jenis gitar yang biasa digunakan oleh Bangsa Moor. Yang mana gitar ini berbentuk oval dan memiliki banyak lubang. Hal ini dikarenakan gitar yang mereka pakai merupakan perkembangan dari alat musik sittar yang biasa dipakai oleh Bangsa Arab.
Cavaquinho
Moresco sendiri merupakan seni musik yang mengiri tarian anggar antara hulubalang Muslim dan Kristen. Pada permulaannya, moresco merupakan seni musik dan tari yang mengisahkan kisah-kisah Perang Salib antara umat Muslim dan Kristen dalam kebudayaan Bangsa Moor. Moresco adaah seni yang bernafaskan Islam sedangkan seni non-Islamik disebut dengan Cafrinho yang berasal dari kata kafir yakni non-Islam. Istilah Cafrinho digunakan untuk menamakan kaum heathen atau kaum creolist Portugis di Goa-India.
Sedangkan dalam perkembangan musik keroncong disebutkan bahwa moresco merupakan bentuk awal dari perkembangan musik ini. Hal ini mungkin saja karena pada rentang waktu 1891-1903 di Surabaya yang merupakan kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda masa itu berdiri sebuah grup keroncong yang bernama KOMEDI STAMBOEL. Grup ini merupakan grup pertunjukan bergaya Istanbul, mereka mengadakan pertunjukan dengan cara berkeliling Hindia Belanda, Singapura, dan Malaysia. Pada umumnya pertunjukan mereka mengisahkan Hikayat 1001 Malam, Opera Eropa maupun cerita rakyat, serta hikayat-hikayat dari Timur Tengah, Persia, atapun India. Pada masa inilah dikenal musik keroncong dengan Stambul I, II, dan III.

Moresco yang bernafaskan keislaman lazimnya dinyanyikan vokalis perempuan dengan nasal voice, karena diharamkan bagi mereka menyanyi dengan membuka mulut di hadapan publik. Nasal voice tidak lazim bagi vokalis Portugis, sehingga mereka menggantikannya dengan suara falsetto yang hanya cocok untuk suara laki-laki namun tidak untuk suara perempuan. Akibatnya vokalis perempuan terdengar berteriak bukan lagi bernyanyi, seperti halnya suara para vokalis perempuan dalam menyanyikan lagu keroncong pada tahun 1920-an di Indonesia. Ternyata kasus yang sama terjadi juga pada fado Portugis yang berasal dari Moresco, seperti lagu Folgadinho berikut ini dengan nada tertinggi pada f#2. Namun yang menarik adalah imitasi nasal voice dari vokalis perempuan Portugis sebagai tuntutan dalam menyanyikan sebuah Moresco menghasilkan warna yang berbeda dengan para sindhen Jawa, karena lebih merupakan sebuah jeritan falsetto dibandingkan dengan vokalis laki-laki yang bebas membuka mulut.
Folgadinho menjadi julukan bagi seseorang yang suka bermalas-malasan. Khususnya bagi orang Moor di Portugal yang gemar bekerja, istilah Folgadinho menjadi sebuah sindiran. Syair lagu Folgadinho bersifat parodial dan responsorial yang selalu diakhiri dengan refrain. Sebagai fado pengiring tarian refrain dinyanyikan tutti chorus sambil bertepuk tangan, sebagai pengganti waditra adufe atau rebana Arab, yang asalnya adalah bunyi kerincing gelang kaki si penari Moor di istana Portugal pada abad ke-12, seperti halnya penari Katakali dari India, atau penari Ngremo gaya Jawa Timuran.

Jangan mati sebelum ke Banda Neira

Yah pagi itu warna laut yang menyatu dengan langit biru di sisi - sisi tak terjangkau meneduhkan mata. Terlalu lama hidup di belantara beton Jakarta membuat saya kaku, kikuk entah harus bagaimana mengungkapkan kegembiraan serta kekaguman yang sudah sangat ku kenali. Tersentak entah dari lamunan yang mana, “aku pernah hidup disini”.
“Kapal Putih”, sebutan untuk kapal PELNI dengan nama KM. CIREMAI melaju perlahan di atas permukaan air yang tenang di teluk Banda. Kontras dengan suasana pelabuhan yang sudah seperti pasar. Ramai. Hari itu, setelah delapan tahun memendam rindu, akhirnya semua tumpah begitu saja. Aku pulang ke “rumah”. Banda Neira.

“Pelabuhan Banda Neira”

Aku bergegas. Langkah - langkah panjangku segera menemui senyum hangat warga setempat. Tak asing memang. Aku lahir disini, meski dalam perjalanan bertumbuh dewasa kuhabiskan di belahan lain bumi indonesia, Merauke - Papua. Peluk, cium, air mata kerinduan lalu tumpah begitu saja. Entahlah. Waktu delapan tahun seperti begitu cepat terlewati. Ah, pikiranku bahkan masih mampu menangkap kaki - kaki kecil berlarian sepanjang aspal jalan - jalan di kota ini. Banda Neira, rinduku ternyata sudah tak lagi mampu ku bendung.

“Di ujung Runway Bandara Banda”
Kakiku menapak pasir Malole. Matahari terik namun tak sedikitpun menyengat. Pantai ini, meski tak sebagus Kute di Bali atau Anyer di Banten, tetap menjadi salah satu pantai paling nyaman, paling tenang untuk di kunjungi. Pasirnya tak seputih pasir pantai pada umumnya, tapi bagi kami, bagiku, yang bertumbuh dari sini, ada hal lain yang lebih penting dibanding warna pasir pantai. Kenangan. Itu tak terbeli, kawan.
Namun Banda tak hanya Malole. Kau tau buah pala yang menarik belanda datang dan menjajah negeri kita ini? Banda adalah rumahnya. Banda meupakan penghasil pala dengan kualitas terbaik di dunia. Tak heran, Belanda rela menukar sebuah pulau kecil di Banda Neira bernama Pulau Run dengan Manhattan pada Inggris. Ah, pala juga yang membuka jalan penjajahan di negri ini. Jika pada buku sejarah mencatat penjajahan terjadi selama 350 tahun, maka di Banda, hal serupa berlangsung lebih lama 150 tahun. Di Banda, bermula segala macam teori perjuangan bangsa ini. Di Banda, bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia.

“Pala Banda”

Banda pula menyimpan catatan panjang sejarah bangsa ini. Beberapa tokoh “Bapak Bangsa” pernah diasingkan disini. M. Hatta ; Dr. Cipto Mangunkusumo dan Syahrir pernah menghabiskan sepenggal masa hidup mereka dalam “pembuangan” di pulau kecil ini. Jika kemudian lahir  tokoh besar semisal Des Alwi Abubakar, itu tak lepas dari peran ketiga “bapak bangsa” yang “dibuang” Belanda ke Banda Neira.

Banda masih pula sederhana. Belum banyak berubah. Masih seramah ketika dulu kuhabiskan masa anak - anakku disini. Jalan - jalannya masih sama. Bangunan tua dengan arsitektur khas Eropa masih banyak dan terawat dengan baik. Istana Mini yang merupakan “kakak” dari istana merdeka di Jakarta masih berdiri kokoh menghadap pulau Banda Besar. Tak habis jika kuceritakan hingga tuntas. Keindahan “surga” ini, hanya akan kau temui jika kau berkunjung kesana. Pergilah. Temuilah apa yang menjadikan bangsa ini ada. Jika dalam lagu, Indonesia adalah dari Sabang sampai dengan Merauke, maka Banda adalah inti dari “apa yang kemudian menjadikan lagu itu ada”. Mungkin begitu.

Cukup. Apa yang kutulis adalah apa yang membekas di dalam kepala. Aku hanyalah anak kecil yang mencoba menghadirkan kembali masa anak - anak serta sejarah tempat dimana ia lahir. Aku hanya memperkenalkan. Sisanya, tugasmu menguliti lebih jauh.

Buat kalian yang mengaku turis, wisatawan, traveler atau apapun itu, jangan mati sebelum ke banda neira.

Minggu, 05 April 2015

Lalu dan Lalu

Bukan penghargaan tapi ini tentang sastraku,aku tak peduli dengan piala itu.
aku terlahir untuk membaca dan kewajibanku menulis menaruh sebuah makna kelak di cicipi cucu-cucuku,yah dari sekian banyak sudah aku lihat,kenapa segitunya.
Memang pengetahuan adalah guru yang hingga kini belum di temukan tunggal di samudera sana,jangan gelisah karena belum temukan jalan pulang,aku masih disini bersamamu awan,aku tinggal di langit dan sering berkunjung di biru lautan kadang aku merasa kesepian dengan musik alam,mungkin bukan sekarang jika tiba saatnya akankah ada yang menemani,maukah kau melihat senja seumur hidupmu bersamaku?
Mimpi-mimpi bersamamu adalah palsu,nyata jikala aku tertidur.
sopan bila rindu dan cinta tak ada petunjuk tentangmu,masih hujan di luar sana,ayo masuk dulu ku buatkan teh.
tisu itu yang jatuh dari tanganmu akan ku simpan di laci kecilku,oh iyah parfum yang pecah di kelas tindak pidana korupsi dan ekonomi,yang temanmu jatuhkan waktu dosen masuk itu juga ku simpan.
masih belum mengantuk,05.48 am.
Fajar baru di hari senin 6 April 2015,stay tune with andaikan ku punya sayap lagu waktu kecil yang bikin tegar waktu aku di kalahkan teman kelas yang selalu juara di pelajaran matematika kelas 2 sd.
oh iyah aku lupa roti buatan mama di tas,bentar yah aku ambil.
ini aku sebut bread green ala mama,ngga tau kenapa aku juga sampe bisa bikin tuh kue.
Mama,aku pulang....
kenalin,nih jesa.
teman baru aku ma.
Mama,ajarin aku sama je bikinin bread green yah?
Mama;iyah boleh.
di sore itu hujan mengguyur,jauh di sebrang waktu aku meluncur dengan sweater merah mellon.
tepatnya di depan kantor gubernur,mobil-mobil terparkir ambruk,mementingkan keperluan negara,lupakah pejabat di dalam negara itu bukan cuman kalian?
terbangun di shubuh sunyi alarm ke surga memanggil.
di jendela pipa langit yang biru,mataku sayup lagi terpesona fatamorgana dunia.
Tuhan aku butuh bantal sebentar dan vas bunga agar ku tenang di 1/2 malam.

Ruma Maida

Pamflet Sejarah Negeriku Yang Pudar

01
Ishak Pahing dalam perjalanannya di pesawat tertembak akibat berondongan peluru yang di muntahkan dari pesawat-pesawat tempur yang mengepung pesawat yang ia dan teman-temannya tumpangi dan akhirnya pun Ishak Pahing tertembak. Inilah pembuka film Ruma Maida yang digarap oleh Teddy Soeriaatmadja dan sebagai penulis naskahnya, Ayu Utami—seorang  novelis yang sempat menggegerkan jagat sastra Indonesia kontemporer melalui Saman
Ruma Maida adalah filem yang mencoba membaca kembali wacana nasionalisme dalam filem—tentu dalam konteks kehadirannya dihubungkan dengan hari Sumpah Pemuda. Sebelum filem ini beredar juga diramaikan oleh kehadiran Garuda di Dadaku dan Merah Putih.
Ruma Maida diproduksi oleh Lamp Pictures dan Karuna Pictures dirilis bertepatan dengan momentum 81 tahun Sumpah Pemuda—dengan menghadirkan berbagai kepingan peristiwa hingga sekarang. Melalui Ruma Maida narasi-narasi besar perjalanan bangsa ini dihadirkan ke penonton. Latar sejarah yang menggelora dan mengharu biru dikaitkan menjadi bangunan keindonesiaan, yang mengkristal menjadi satu kata, Merdeka. Kata merdeka menjadi lokus utama di filem ini meskipun ia berbicara dari generasi yang berbeda. Konteks keindonesiaan yang merdeka terhimpun dari kepingan-kepingan peristiwa yang terpadatkan pada momentum akbar bangsa ini. Sejarah yang di mulai dalam filem bermula dari zaman pergerakan nasional tepatnya peristiwa Sumpah Pemuda, pendudukan balatentara Dai Nippon, Perang revolusi kemerdekaan hingga Peristiwa Mei 1998. Dalam narasi-narasi besar itu Ruma Maida menempati ruang mikrokosmis yang menghubungkan kehidupan anak bangsa. Sekali lagi narasi-narasi besar keindonesiaan terpusat pada sebuah rumah dan rumah inilah yang menulis sejarah pelakunya, tentunya sejarah pelaku-pelaku yang terlibat secara sadar atau tidak telah mengusik diskursus keindonesiaan itu yang belum selesai.
Apa yang terjadi di tahun 1998 oleh pembuat filem ini disamakan dengan peristiwa yang terjadi di zaman pergerakan dan revolusi—dengan cara merelasikannya situasi zaman kolonial di mana kemerdekaan yang hakiki masih jauh dari harapan. Digambarkan Maida, seorang mahasiswa sejarah semester terakhir yang sedang menyiapkan skripsi dan juga melakukan aktifitas sosial dengan melakukan kegiatan pendidikan alternatif untuk anak-anak jalanan di Jakarta. Ia adalah korban kekuasaan; modal dan sistem negara yang tidak berpihak.
02
Ayu Utami selaku penulis skenario menyatakan bahwa filem ini bertujuan untuk meneguhkan kembali makna kebhinneka-an yang hampir saja tergerus oleh pemasungan dari pihak-pihak yang memaksakan etika moral diterapkan di masyarakat Indonesia. Menurut penulis, filem ini ingin mengingatkan bahwa sebagai anak bangsa kita jangan lupa dengan pluralitas bangsa Indonesia. Ayu menjelaskan bahwa dalam filem ini diperlihatkan sketsa pilu warga bangsa yang belum mendapatkan kemerdekaannya meskipun telah merdeka.
Teddy Soeriaatmadja  menghadirkan konsep stilistikanya seperti yang pernah ia buat sebelumnya di filem Ruang. Tentu dalam Ruma Maida ia ingin menghadirkan sejarah dalam imajinasi ruang sebagai pusat narasinya. Ruang, yang direpresentasikan dengan rumah, sebenarnya sangatlah jenial dalam pemilihan bahasa filem untuk membingkai sejarah keindonesian yang sangan panjang. Namun, sutradara sangat jelas terlihat kepayahan untuk meyakinkan penonton tentang sebuah narasi sejarah versinya Ayu, sang penulis. Dalam tulisan Ishak Pahing, Nanni Kudus dan Kolonel Mayurama adalah sosok khayali yang dihadirkan sebagai penyampai risalah keindonesiaan yang dalam bacaan teks tentu memberikan gambaran imajinatif yang memberikan ruang kepada pembaca untuk membangun karakternya sendiri-sendiri—ini adalah hakekatnya saat kita membaca sebuah karya berbasis teks. Itu pula yang dihadapi oleh Teddy dalam menggarap Ruma Maida. Daya imajinasi teks tidak mampu ia kembangkan dalam bahasa filem. Kita tentu mengenal karya seperti Les Misérables-nya Victor Hugo (1862) dihadirkan kembali oleh Bille August. August tanpa tedeng aling menghadirkan sosok Jean Veljean (Liam Neeson) yang sudah menjadi sosok klasik—seorang yang berkarakter keras—menjadi sosok yang tenang dalam filem. Tentu ini menuai banyak kritik, tapi secara kehadirannya dalam filem, August berhasil menjadikan sosok Jean Veljean versi sutradara sendiri.
03

Ruma Maida 
mencoba memberi prespektif sejarah versi sendiri seperti posisi bangsa Belanda, Tionghoa dan Peranakan lainnya dicap tidak nasionalis. Dalam filem ini penulis dan sutradara ingin menggeser postulasi ini yang kebangsaannya dipertanyakan. Dengan sangat mudah kita mengetahui premis film ini yaitu lokus kebhinnekaan adalah milik seluruh komponen bangsa termasuk para peranakan maupun bangsa lain yang memilih hidup untuk Indonesia. Hal ini juga tergambar pada peristiwa Mei 1998 dengan sangat jelas pembelaanRuma Maida terhadap minoritas terutama etnis Tionghoa yang dirugikan dalam peristiwa kelam sebelum kejatuhan rejim Soeharto ini.
Dari pengalaman menonton Ruma Maida, tergambar obsesi penulis yang ingin meluruskan sejarah dalam versinya sendiri yang tentunya tidaklah sesederhana itu. Negara dan bangsa ini berdiri dengan jutaan darah dan pusaran konflik yang tiada henti. Sejak peristiwa berdarah Ken Arok, Majapahit, Mataram, Zaman Kolonial hingga kemerdekaan tidak pernah luput dari tarik ulur kepentingan dengan mengorbankan darah anak-anak bangsa. Pada periode kemerdekaan kita mencatat beberapa persitiwa seperti; pemberontakan PKI 1948, disintegrasi yang terjadi di medio 1950-an (ingat peristiwa PRRI/Permesta, RMS, DI/TII), hingga peristiwa kelabu G 30 S PKI sampai dengan peristiwa mei 1998. Semua catatan perjalanan sejarah bangsa ini selalu kepayahan untuk menegakkan visi keindonesiaan. Begitu juga dengan bagaimana kepayahannya filem ini untuk meyakinkan penonton tentang keindonesiaan itu.
Kembali pada pelurusan sejarah dalam film, Ruma Maida dijadikan pusat gravitasi keindonesiaan dalam satu rumah—dimana sejarah bangsa bertemu meskipun kita tahu sejarah bangsa ini terdiri dari fragmen-fragmen yang satu sama lain tidak melulu saling terhubung. Kontak sejarah yang saling berhubungan hanyalah wacana menuju kemerdekaan itu sendiri, namun untuk kepingan peristiwa sejarah lainnya sangat sulit untuk menghubungkan sebuah peristiwa sejarah yang terangkum padat di sebuah rumah tua.
Bagaikan puzzleRuma Maida menggiring penontonnya untuk cermat menyusun kepingan-kepingan puzzle yang berserakan. Sebuah pilihan yang cukup pintar dalam bahasa filem. Namun, kepingan-kempingan itu terasa menjadi hambar karena kelemahan diberbagai lini seperti pemilihan pemain dan karakter dalam film ini. Para tokoh tidak ubahnya seperti bermain dalam sinetron dengan mengerangkan urat di leher untuk memperlihatkan kemarahan. Benda-benda di dalam rumah hanya diam sebagai benda, ia tidak hadir sebagai metafora dalam filem dalam membangun imajinasi penononton. Susunan puzzle itu pada akhirnya menjadi hancur lebur sebagai sebuah bangunan filem yang seharusnya menarik lalu menjadi opera sabun (sinetron) karena konflik yang dibangun tokon Maida tuntas hanya dengan kemurahan hati seorang pengusaha congkak yang sadar akan keindonesiaan dan pentingnya arti sejarah. Inilah klise yang selalu dibangun dalam cerita-cerita murahan, yang menurut saya tidak sekelas dengan Ayu Utami dengan reputasi penulis handal generasi baru yang mendapatkan berbagai penghargaan tingkat nasional dan internasional.
04
Maida Lilian Manurung (Atiqah Hasiholan) di persepsikan oleh pengarang filem ini sebagai pejuang pendidikan bagi kelas bawah, yakni para anak jalanan. Kita bisa mengira-ngira bahwa Ayu memilih cerita ini tentu terinspirasi dari Butet Manurung—seorang tokoh penting pejuang pendidikan alternatif bagi masyarakat marjinal (orang-orang Kubu/Rimba di Jambi dan anak-anak jalanan di Makassar). Namun, gambaran ketokohan dan pengabdian seorang perempuan muda dalam filem ini seperti hanya menjadi slogan-slogan yang ada dalam surat kabar. Sutradara tidak bisa menemukan bahasa filem yang lebih baik untuk menggambarkan tokoh Butet Manurung, yang pasti tidak akan berteriak-teriak dengan mudahnya saat sekolah alternatifnya digusur. Dalam filem yang tergambar hanya slogan-slogan penindasan yang diartikulasikan dalam bahasa oral dan tubuh Maida.
Di rumah tua itu tokoh Maida bertemu dengan Sakera Motaba (Yama Carlos)—seorang arsitek yang akan merenovasi total rumah ini dengan konsep desain minimalis modern futuristik seperti yang diminta kliennya, Dasaad Muchlisin (Frans Tumbuan). Tokoh Sakera, kalau kita relasikan dengan nama, tentu kita akan tahu dia adalah seorang yang berasal dari Madura. Ini juga yang dicoba digambarkan oleh Ruma Maida tentang konsep pluralisme dalam hubungan cinta. Sakera (yang tentu dalam stereotipe masyarakat Madura adalah beragama Islam) dijalinkan dalam hubungan personal dengan Maida yang keturuna Tionghoa-Batak dan beragama Katolik. Perlawanan stereotipe mencapai puncaknya saat sepasang kekasih ini mengucapkan janji di depan pastor. Sekali lagi, bagi saya ini adalah angan-angan yang bagus, namun tidak begitu cantik dalam bermain bahasa filem. Pertanyaan muncul, kenapa harus menikah di gereja bukan di KUA (Kantor Urusan Agama)? Mungkin sutradara memilih di gereja agar lebih terlihat agung dan estetik. Padahal dalam konteks keindonesiaan dan juga dalil-dalil agama, Sakera bisa saja mengucapkan ijab-kabul di depan seorang Kyai yang di dalam beberapa perspektif Islam, kawin campur pun bisa terjadi. Di sini Ayu dan Teddy terlalu sinis melihat pluralisme di Indonesia. Padahal bisa saja dengan tidak berhadapan secara langsung yang menjadi sangat slogan dan pamflet-pamflet kemarahan.
05
Film Ruma Maida juga menghadirkan tokoh anak-anak sebagai gambaran anak jalanan di Jakarta. Di sini juga ada catatan yang perlu kita lihat yaitu peran anak-anak pada film hanya menjadi tempelan. Pelajaran musik, toh hanya sebagai pintu masuk terhadap sejarah Ishak Pahing. Padahal, Teddy sebenarnya telah mulai memainkan tanda dengan menghadirkan biola di tengah anak-anak. Namun, sekali lagi sutradara gagal menjadikan tanda ini sebagai sesuatu yang sangat penting dalam filem. Ketika biola anak-anak itu hancur karena peristiwa tragedi 1998, Maida berusaha mencari gantinya. Ia menemukan gantinya dari bekas calon suami ibunya. Maida memberikan biola itu kepada anak jalanan itu saat ia menggali gorong-gorong di jalanan. Biola menjadi hambar, hilang tanpa makna bagi filem dan relasinya dengan sang anak. Sayang sekali.
Tokoh penting dalam film ini juga Ishak Pahing—seorang indo yang ayahnya bernama Hans Schmutzer dengan ibu sunda. Ayah Ishak ingin ia menjadi penerbang, namun ia lebih menyukai musik terutama biola. Digambarkan dalam filem, keinginan tersebut semakin mantap ketika Ishak Pahing bertemu Bung Karno dan melihat Wage Rudolf Supratman memainkan lagu kebangsaan. Saat itu ia berjumpa untuk pertama kalinya dengan Nanni Kudus yang kelak menjadi istrinya. Oleh Bung Karno anak Ishak dan Nanni diberi nama Fajar Putra.
RUMA-MAIDA-daLam1
Tokoh lain adalah Kolonel Maruyama—seorang officer Jepang yang menyamar sebagai fotografer sebelum balatentara Jepang masuk ke Indonesia. Sang kolonel jatuh hati kepada Nanni Kudus yang membuat gusar Ishak Pahing. Ada hal yang perlu dicatat di sini, konflik Ishak Pahing dan Kolonel Maruyama adalah konflik pribadi yang seharusnya bisa dikemas lebih baik. Tidak dengan cara hitam-putih. Tokoh jahat yang diperankan Maruyama sama persis dengan yang kita selalu kenal yaitu bengisnya penjajah. Padahal dalam konteks cinta, seharusnya bisa lebih halus dan pasti bisa ditemukan dalam bahasa filem. Karena konflik cinta tidak ada hubungannya dengan pilihan politik seorang Maruyama. Toh, dalam filem ini digambarkan bahwa akhirnya sang kolonel memilih tetap tinggal di Indonesia dan merawat anak dari Ishak Pahing setelah meninggalnya Nanni Kudus dalam kerusuhan paska kemerdekaan. Sutradara masih melihat kejahatan sebagai sesuatu yang jahat. Padahal dalam persoalan perasaan, tentu kejahatan bisa sangat berbeda. Cinta itu adalah sebuah ketulusan dan itulah yang dibuktikan oleh rangkaian cerita Ayu Utami dalam Ruma Maidasaat sang kolonel memutuskan mengasingkan diri.
Pembingkaian kejahatan dengan cara hitam-putih ini juga terjadi pada adegan kerusuhan 1998. Dalam Ruma Maida jelas posisi para perusuh digambarkan secara beringas dan tak kenal ampun. Penggambaran yang sama juga berlaku bagi orang pribumi yang di filem ini dipersepsikan sebagai biang keladi atas huru-hara 1998. Hal ini dipertegas dalam sebuah gambar toko yang bertuliskan; milik pribumi, Muslim. Ayu dan Teddy benar-benar membuat sebuah slogan yang menurut kami sangat gampang dan bersifat pamflet. Ada banyak perangkat peristiwa yang mengikuti tragedi berdarah itu. Bagi penulis, bukan berarti mengabaikan korban-korban warga keturunan pada peristiwa itu. Namun, slogan yang menjustifikasikan bahwa orang-orang pribumi adalah “biang” merupakan kesalahan fatal dalam filem ini. Penonton tidak lagi diajak untuk berpikir objektif terhadap peristiwa-peristiwa yang memojokan masyarakat keturunan itu. Bahwa ada sistem yang salah dalam membangun bangsa ini pada masa Orde Baru.
RUMA-MAIDA-daLam2
Hasil tamasya sejarahnya menghantarkan Maida dan Sakera ke Dasaad Mukhlisin dalam konflik penguasaan rumah tua yang digunakan Maida. Adegan ala sinetron terjadi saat Maida dan Sakera diusir oleh Dasaad Muchlisin karena meminta mengurungkan niatnya untuk meruntuhkan rumah itu. Diceritakan bahwa rumah tua itu adalah warisan sah Ishak Pahing yang disebutkan sebagai ayah biologis Dasaad Muchlisin. Tokoh pengusaha ini digambarkan sebagai orang yang gila pada sesuatu yang baru dan benci sejarah. Ia adalah potret masyarakat kontemporer yang ahistoris. Namun, bagaimana mungkin sebuah peristiwa yang begitu besar dan merubah perilaku seseorang dapat menjadi sangat “mellow” setelah ia datang ke rumah orang tuanya sendiri? Sekali lagi, terlalu mudah untuk filem yang dari awal berjibaku dengan soal-soal kebangsaan dalam bingkaian sejarah arus besar negara ini. Apalagi  diakhir cerita Dasaad Muchlisin sadar dan berubah pikiran. Filem ditutup dengan penghibahan rumah kepada Maida dengan disingkapnya tirai sekolah Ruma Maida oleh Pak Dasaad Muchlisin. Sama persis seperti filem-filem propaganda Orde Baru tentang kebaikan dan budi pekerti.
RUMA-MAIDA-daLam3
Sejarah dalam Ruma Maida menjadi hambar. Kehadiran tokoh-tokoh sekelas Soekarno, Hatta, Wage Rudolf Supratman dan lain-lain tidak banyak membantu untuk membuat filem ini penting untuk membaca sejarah dalam perspektif kebudayaan. Kerumitan sejarah ternyata hanya selesai dengan penghibahan rumah Dasaad Muchlisin kepada Maida dan anak-anak asuhnya. Filem Ruma Maida ternyata hanya diselesaikan oleh pertobatan Sang Pengusaha congkak saja.
RUMA-MAIDA-daLam4

Harta karun masa kecil

Salah satu kenangan masa kecil saya,lagu yang saya dengar pada tahun milenium itu,merupakan harta karun di kala dewasa,Madre.
Salah satu penyanyi cilik lelaki hasil bimbingan alm Elfa Secioria adalah Kenny. Lagu Cinta untuk Mama sebagai debutnya,muncul pada 1999.
Lagu yang sederhana dengan makna luar biasa.
Akhirnya ku temukan harta kecilku sejak 15 tahun lalu hilang di telan zaman.

Sabtu, 04 April 2015

Sherina-Andaikan aku punya sayap

 C
Satu-satu
F
Daun-daun
C        G
Berguguran
           Am       G
Tinggalkan tangkainya

C
Satu-satu
F
Burung kecil
C        G
Beterbangan
           Am       G
Tinggalkan sarangnya

  F     G        C
Jauh, jauh, tinggi
Dm     F    G     C
ke langit yang biru

      C    G          Am
Andaikan aku punya sayap
    Em            F
Ku kan terbang jauh
   Dm         F    G
Mengelilingi angkasa

       C     G         Am
Kan ku ajak ayah bunda ku
    Em          F
Terbang bersama ku
  Dm         F   G    C
Melihat indahnya dunia 

Kenny - Lagu Cinta Untuk Mama



 [INTRO]
D Em Bm A
G F#m Bm A


 D                       Em
Apa yang kuberikan untuk mama
      Bb        D
Untuk mama tersayang
    D                   Em
Tak kumiliki sesuatu berharga
      Bb         D
Untuk mama tercinta

Reff :
      G        F#m      Bm
Hanya ini kunyanyikan 
     Em          A            Am     D
Senandung dari hatiku untuk mama
        G              F#m     Bm
Hanya sebuah lagu sederhana
     Em        A     D
Lagu cintaku untuk mama


G F#m Bm Em A Am D
D G#m C#m F#m Gm E A

   D                         Em
Walau tak dapat selalu ku ungkapkan 
        Bb         D
Kata cintaku 'tuk mama
  D                       Em
Namun dengarlah hatiku berkata
          Bb             D
Sungguh kusayang padamu mama

Back to Ref

Jumat, 03 April 2015

Surat kecil dari iblis yang jatuh ke bumi

Dark in the world,ketika terang menyilaukan mata di persimpangan antara bumi dan bulan .
berkibarlah bendera-bendera neraca dunia kembali di perhitungkan ilmu di artikan sebagai penjelajahan umat manusia di perpustakaan waktu,warisan untuk anak cucu di penghujung.
Masihkah mereka bertanya?
jawabannya telah di tulis namun tak selamanya di baca secara dekat oleh anak adam dan hawa.
sudah sobek dan terlipat tak keruan kuning-kekuningan terkena siraman teh tua.
Tak kenal di kau tertidur lelap di awan virga,suara indah belaian surga firdaus mati muda baik buruk tak tentu.
Hidup banyak pilihan setan dan malaikat beradu panco kalahkan pertempuran real mistic bukan dia atau mereka yang menang di alam ini siapa nama ibumu di dalam doa yang kau panjatkan,begitu juga ayah di hari lalu sebagai penjahat kelas ekstrem pensiun dini agar semua terkendali,sungai yang mengalir di derasnya hujan pintu maaf di buka lebar kala hari itu datang siapa yang terlambat itu angin lalu hilang dalam dingin.
mengeluh di rentetan tembakan-tembakan modern kala vintage masih berjaya dan aku masih klasik dengan keroncong sore itu.
Bunga yang layu tak tersiram,air sebagai sumber kehidupan bagi seluruh umat.
cinta yang menguatkan hati,raga dan jiwa mereka bersumpah antara satu tulang rusuk,keabadian itu ada,bukankah masih terukir namun cuma kita yang telah tiada,tontonan akan kekuatan,kesabaran,kejujuran tangan yang ku genggam hening di shubuh yang merah,dan jendela kamarku yang tersudut itu berhiaskan bintang,terima kasih bukan hanya di mulut atau kata baku sebagai persembahan atas perayaan pesta megah,wonderland bergema melepas durasi seperti seks yang menumbuhkan atau malah mematikan lanjutan cerita esok siang,telanjang tak bernoda itukah yang mereka rasakan,culture masih berdiri lupa suara seruan alam,andaikan kalian ada disisi ku hapus semua derita air mata menoreh di cerita ini,scary in your heart berteriaklah selagi semesta kau pandang langit tak buta untuk melihat kesaksian ini,jelas-jelas kau pura-pura agar semua ini biasa saja,ketakutan jadi inisial dan kebohongan jadi adegan dalam peran,bumi itu bulat yang di rasakan history,alasan agar menjadi orang terdepan kajian sainsmu lebih cenderung false,waktu tak menunggu jawaban itu kaulah yang nyasar tak gunakan peta,pisau ini tajam setajam lidah,binatang dan manusia beda tipis,kehausan merenggut keuntungan,anak-anakmu kau terlantarkan dengan kemewahan mana mungkin ini di biarkan kegelisahan di kolong jembatan masih ku lihat,kantong tengah di pertanyakan pikiran memaki diri terdiamlah di kumuhnya  genangain air keruh yang telah hilang di makan anjing jalanan,jauh kau lebih jauh maka di jauhi,lelah kau terjatuh di ributnya suasana peradaban terbaring di pelukan sang kakak peempuan,maaf aku tak mendengarmu saudaraku.

Kain-Kain Penutup

Ku selamatkan kau dalam dinginnya dunia
ku benamkan kau diantara tubuhku
masih terbayang apa yang ku lakukan
menyesal dan dosa sudah di lewatkan

Terkejut dan tak kuasa
semalam aku entah dimana
sebujur keringat membasahi pipiku
baru kusadari hari dan tanggal

malam yang singkat telah habis
beiring dengan langkah kakiku
mencari segumpal penutup
untuk luka yang tak pernah usai

Ricuhnya Dunia Ini

Bising-bising tak pernah berhenti
ledakan-ledakan selalu terjadi
teriakan-teriakan yang bergema 
tangisan-tangisan yang tak berbunga

Kini aku tersenyum
tak bisa ku menangis depan umum
melihat semua yang telah hancur
hatiku tegar namun air mata terus mengucur

Sebab-sebab orang tak bermoral
yang membuat dosa bukan beramal
hempasan ketakutan dalam duka ini
tak kunjung reda untuk berdamai

Kamis, 02 April 2015

KAJIAN TEORITIS MENGENAI HUKUM UDARA

A.Definisi Hukum Udara

Pada zaman Romawi dikenal Hukum Romawi yang berbunyi cujust est Solum, ejus est esque ad coelum, yang artinya barang siapa memiliki sebidang tanah (perorangan atau negara), maka hak pemilikan itu berlaku bukan saja terhadap apa yang ada di atas permukaan tanah, akan tetapi juga terhadap apa yang ada di dalam dan di atas permukaan tanah tanpa batas. 

Dalam hal ini termasuk ruang udara yang berada di atas permukaan tanah tersebut adalah milik yang menguasai tanah, dalam hal ini dikenal adanya Hukum Udara. Adapun pengertian mengenai Hukum udara ini bemacam-macam yang mengartikan Hukum Udara, definisi Hukum Udara menurut beberapa tokoh adalah sebagai berikut:

1.Menurut Diedriks Veschoor, Hukum Udara adalah peraturan-peraturan yang mengatur mengenai penggunaan ruang udara dan pemanfaatannya untuk penerbangan baik secara umum atau publik dan juga negara-negara di dunia.

2.Menurut Showcross-Beaumont, Hukum Udara Internasional adalah sekumpulan peraturan yang mempunyai efek diantara negara dalam soal penerbangan dan kumpulan-kumpulan ini dapat dilihat terutama dalam konvensi-konvensi dan perjanjian antar bangsa.

3.Menurut Nicholas de B. Katzenbach, Hukum Udara adalah sekumpulan peraturan yang disusun tidak hanya oleh satu negara tetapi bersumberkan pada perjanjian antara dua negara atau lebih.

4.Menurut M. Seara Vazquez, Hukum Udara (Transair Law) sama dengan hukum-hukum yang menguasai navigasi udara.

5.Menurut E. Pepin, Hukum Udara adalah peraturan-peraturan mengenai sirkulasi penerbangan dan juga penggunaan pesawat udara serta hak dan kewajiban yang timbul karenanya.

6.Menurut Goodhuis, Hukum Udara adalah hukum yang mengatur situasi khusus dari prikehidupan manusia dengan adanya rangkaian peraturan-peraturan yang berusaha menerbitkan segala kejadian di ruang udara serta mengatur cara-cara memanfaatkan ruang udara sebagai objek bagi kepentingan penerbangan.

7.Menurut Nicholas M. Matte, Hukum Udara (Air Law) adalah mewakili disiplin yang dimana mengatur aspek hukum dengan media dimana untuk mengembangkan suatu pesawat udara, berasal dari mana dan apa yang menjadi satu kesatuan di atasnya. (represent the discipline which regulates the legal aspect of the medium in which the aircraft evolves, what stems from it and what is contingent upon it). 

Sedangkan definisi Hukum Penerbangan menurut A. Ambrosini, Hukum Penerbangan (Aeronautical Law) adalah bagian atau cabang dari hukum yang mempelajari mengenai semua hubungan-hubungan baik bersifat publik maupun privat, nasional maupun internasional yang timbul dari navigasi udara dan yang menentukan aturan-aturan hukum.

Sehingga dari definisi-definisi mengenai Hukum Udara yang dikemukakan oleh para tokoh, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum Udara itu adalah segala macam undang-undang, peraturan-peraturan dan kebiaasaan mengenai penerbangan serta segala hak dan kewajiban manusia sebagai pelaksanaannya yang disusun berdasarkan perjanjian, kebiasaan dan hukum yang berlaku diantara negara di dalam soal penerbangan (conventions, treaties, customary law, ect.). 


1.Sumber Hukum Udara Internasional

Sebagaimana diketahui pada Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional yaitu sumber-sumber hukum pada Hukum Internasional, dalam pasal tersebut yang menjadi sumber Hukum Internasional yaitu:

a.Konvensi-konvensi Internasional, 
b.Kebiasaan-kebiasaan Internasional,
c.Prinsip -prinsip hukum yang diakui oleh bangsa beradab,
d.Yurisprudensi.

Oleh karena itu tidak hanya Hukum Internasional, akan tetapi Hukum Udara juga mempunyai sumber Hukum Udara (air law sources) dapat besumber pada Hukum Internasional maupun Hukum Nasional. Sesuai dengan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional mengatakan: internasional custom as evidence of a general practice, accepted as law. Sumber Hukum Udara Internasional dapat berupa multilateral maupun bilateral sebagai berikut:

a.Multilateral

Sumber Hukum Udara Internasional yang bersifat multilateral antara lain terdapat dalam Konvensi Paris 1919 dan konvensi-konvensi yang lain, sedangkan Hukum Udara perdata internasional antara lain Konvensi Montreal 1971, Konvensi Den Haag 1930 dan lain-lain. Di samping konvensi yang bersifat multilateral juga yang bersifat bilateral. 


b.Bilateral Air Transport Agreement

Pada saat ini Indonesia mempunyai perjanjian angkutan udara timbal balik (bilateral air transport agreement) tidak kurang dari 67 negara yang dapat digunakan sebagai sumber Hukum Udara nasional dan internasional. 

c.Hukum Kebiasaan Internasional

Menurut Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, Hukum Kebiasaan Internasional juga merupakan salah satu sumber Hukum Internasional. Di dalam Hukum Udara Kebiasaan Internasional. Namun demikian, peran Hukum Kebiasaan Internasional tersebut semakin berkurang dengan adanya konvensi internasional, mengingat Hukum Kebiasaan Internasional kurang menjamin adanya kepastian hukum. Pasal 1 Konvensi Paris 1919, merupakan salah satu Hukum Kebiasaan Internasional dalam Hukum Udara Internasional. Namun demikian, pasal tersebut telah diakomodasi di dalam Konvensi Havana 1928 dan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. 

Dalam perkembangan teknologi, tindakan suatu negara dapat merupakan Hukum Kebiasaan Internasional tanpa adanya kurun waktu tertentu. Hal ini telah dilakukan oleh Amerika Serikat dengan menetapkan Air Defence Identification Zone (ADIZ). Air Defence Identification Zone (ADIZ) ini adalah penunjukan ruang udara khusus dimensi tertentu di mana semua pesawat udara diharuskan mematuhi identifikasi khusus atau prosedur tambahan yang berkenaan dengan lalu lintas udara. Yang kemudian tindakan Amerika Serikat tersebut diikuti oleh Canada dengan menentukan Canadian Air Defence Identification Zone (CADIZ) yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Di dalam Hukum Laut Internasional juga dikenal adanya Hukum Kebiasaan sebagai salah satu sumber hukum. 

d.Prinsip-prinsip Umum Hukum (General Principles of Law)

Selain Hukum Kebiasaan Internasional dan konvensi internasional sebagaimana dijelaskan di atas, asas umum hukum (general principles recognized by civilized nations) juga dapat digunakan sebagai sumber Hukum Udara. Salah satu ketentuan yang dirumuskan di dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah “general principles or law recognized by civilized nations” sebagai asas-asas yang telah diterima oleh masyarakat dunia dewasa ini, baik Hukum Udara Perdata maupun Hukum Udara Publik. Asas-asas atau prinsip-prinsip tersebut antara lain: Prinsip bonafide (itikad baik atau good faith), pacta sunt servanda, nebis in idem, equality rights, tidak boleh saling intervensi kecuali atas persetujuan yang bersangkutan dan prinsip non lequit,

e.Ajaran Hukum (Doctrine)

Ajaran hukum (doctrine) di dalam Hukum Internasional juga dapat digunakan sebagai salah satu sumber Hukum Udara. Di dalam Common Law System, atau Anglo Saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai pemindahan resiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan yang menyediakan transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh korban. Tanggung jawab tersebut berpindah dari korban (injured people) kepada pelaku (actor). Demikian pula ajaran hukum (doctrine) mengenai bela diri. Menurut ajaran hukum (doctrine) bela diri, suatu tindakan disebut sebagai bela diri bila tindakan tersebut seimbang dengan ancaman yang dihadapi. Oleh karena itu pesawat udara sipil yang tidak dilengkapi dengan senjata, tidak boleh ditembak karena pesawat udara sipil tidak ada ancaman yang membahayakan. Di samping itu, penembakan pesawat udara sipil juga tidak sesuai dengan semangat Konvensi Chicago 1944 yang mengutamakan keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut 

f.Yurisprudensi

Menurut Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, yurisprudensi juga merupakan salah satu sumber hukum. Ketentuan demikian juga berlaku terhadap Hukum Udara, baik nasional maupun internasional. Banyak kasus sengketa yang berkenaan dengan Hukum Udara, terutama berkenaan dengan tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga. Di Indonesia terdapat paling tidak terdapat dua macam yurisprudensi yang menyangkut Hukum Udara Perdata, masing-masing gugatan Ny. Oswald terhadap Garuda Indonesian Airways dalam tahun 1961 dan gugatan penduduk Cengkareng terhadap Japan Airlines (JAL) dalam tahun 2000. Dalam kasus penduduk Cengkareng melawan Japan Airlines mengenai tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, sedangkan kasus Ny. Oswald melawan Garuda Indonesian Airways mengenai ganti rugi non fisik. Pada prinsipnya, keputusan pengadilan tersebut hanya berlaku terhadap para pihak, tetapi seorang hakim boleh mengikuti yurisprudensi yang telah diputuskan oleh hakim sebelumnya (The decision of the court has no binding force exept between the parties and in respect of that particular cases) artinya keputusan Mahkamah Internasional tidak mempunyai kekuatan mengikat, kecuali bagi pihak-pihak yang bersangkutan tertentu itu. 


2.Sumber Hukum Udara Nasional

Sumber Hukum Udara nasional terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan nasional sebagai implementasi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), juga Perjanjian Angkutan Udara Internasional (Bilateral Air Transport Agreement) di mana Indonesia sebagai pesertanya merupakan sumber hukum sebagai pelaksanaan undang-undang tersebut juga telah dikeluarkan berbagai peraturan penerbangan, baik yang menyangkut keselamatan maupun ekonomi transportasi udara, pada tataran Menteri maupun tataran Direktur jenderal Perhubungan Udara. 


B.Pengertian Kedaulatan Negara Pada Umunya 

Pasal 1 Konvensi Montevideo 27 desember 1933 mengenai hak-hak dan kewajiban negara menyebutkan bahwa unsur konstitutif yang ke-4 bagi terbentuknya negara adalah capacity to enter into relations with other states. Konvensi Montevideo ini merupakan suatu kemajuan bila di bandingkan dengan konsepsi klasik pembentukan negara yang hanya mencakup 3 (tiga) unsur konstitutif yaitu:

1.Penduduk, 
2.Wilayah dan 
3.Pemerintah yang berdaulat. 

Bagi konvensi tersebut ketiga unsur itu belum cukup untuk menjadikan suatu identitas sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Oleh karena itu, diperlukan unsur tambahan yang tidak kurang pentingnya yaitu kapasitas untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain. Namun sebagai akibat perkembangan hubungan antar negara yang sangat cepat, ketentuan Konvensi Montevideo yang berisikan unsur kapasitas tersebut, sudah agak ketinggalan dan diganti dengan kedaulatan sebagai unsur konstitutif yang ke-4, pembentukan negara mengingat artinya yang sangat penting dan ruang lingkup yang lebih luas.

Suatu negara dapat saja lahir dan hidup tetapi itu belum berarti bahwa, negara tersebut mempunyai kedaulatan. Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Internasional. Sesuai konsep Hukum Internasional, kedaulatan memiliki 3 (tiga) aspek utama , yaitu:

1.Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.

2.Aspek intern kedaulatan ialah hak atau wewenang ekslusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.

3.Aspek territorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan ekslusif yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut.


Disamping itu kedaulatan juga mempunyai pengertian positif dan negatif, yaitu: 

1.Pengertian Negatif

a.Kedaulatan dapat berarti bahwa negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang lebih tinggi.

b.Kedaulatan berarti bahwa negara tidak tunduk pada kekuasaan apapun dan dari manapun datangnya tanpa persetujuan negara yang bersangkutan.


2.Pengertian Positif

a.Kedaulatan memberikan kepada titulernya yaitu negara pimpinan tertinggi atas warga negaranya. Ini yang dinamakan wewenang penuh dari suatu negara.

b.Kedaulatan memberikan wewenang kepada negara untuk mengeksploitasi sumber-sumber alam wilayah nasional bagi kesejahteraan umum masyarakat banyak. Ini yang disebut kedaulatan permanen atas sumber-sumber kekayaan alam.

Selanjutnya kedaulatan juga mempunyai arti yang sama dengan kemerdekaan. Bila suatu negara disebut berdaulat, itu juga berarti merdeka dan sebaliknya. Bila suatu negara yang baru lahir dan yang mengadakan kegiatan hubungan luar negeri, sering disebut negara merdeka ataupun negara berdaulat saja.

Menurut sejarah, asal kata kedaulatan yang dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah sovereign berasal dari kata latin supranus berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat atau souvreign karena kedaulatan merupakan sifat hakiki negara. Bila dikatakan bahwa negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. Pengertian kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi inilah yang menimbulkan banyak salah paham.

Memang dilihat secara sepintas lalu, dimilikinya kekuasaan tertinggi oleh negara ini bertentangan dengan Hukum Internasional sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan internasional terutama hubungan antar negara. Dapat dikemukakan bahwa Hukum Internasional tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi di atasnya. 

Namun kedaulatan menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang berarti bahwa negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari pada kekuasaannya sendiri. Dengan perkataan lain, negara memiliki monopoli kekuasaan, suatu sifat khas organisasi masyarakat dan kenegaraan dewasa ini yang tidak lagi membenarkan orang perseorangan mengambil tindakan sendiri apabila ia dirugikan. Walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batasnya.

Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya. Di luar wilayahnya, suatu negara tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Sehingga Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja, pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung 2 (dua) pembatasan penting dalam dirinya yaitu:

1.Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu.
2.Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai.

Bahwa kedaulatan suatu negara terbatas dan bahwa batas ini terdapat dalam kedaulatan negara lain merupakan konsekuensi yang logis dari paham kedaulatan sendiri dan mudah sekali dipahami apabila kita mau memikirkan persoalan ini secara konsekuen. Dilihat secara demikian, paham kedaulatan tidak usah bertentangan dengan adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri atau dengan perkataan lain merdeka (independent) yang satu dari yang lainnya. Paham demikian juga tidak bertentangan dengan Hukum Internasional yang mengatur masyarakat demikian.

Dalam konteks hubungan internasional, prinsip kedaulatan negara (State Sovereignty) ini merupakan salah satu prinsip penting dalam Hukum Internasional bahkan termasuk salah satu prinsip atau doktrin jus cogens yaitu suatu norma. Kedaulatan negara adalah sebuah konsep hukum (a legal concept) dalam Hukum Internasional dan Nasional yang memiliki beberapa dimensi, dan juga kedaulatan negara ini merupakan doktrin yang dilakukan oleh negara dan bangsa berdaulat .

Prinsip kedaulatan negara merupakan salah satu prinsip penting yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB (United Nations Charter), yaitu terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: The organization (United Nations) is based on the principle of the souvereignty equality of all its members.

Maksud pasal tersebut yaitu bahwa PBB dibentuk berdasarkan prinsip kedaulatan setiap anggotanya. Prinsip kedaulatan negara ini dipertegas dan diperinci oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 tahun 1970 mengenai Deklarasi tentang prinsip-prinsip Hukum Internasional hubungan persahabatan dan kerjasama sesuai dengan dengan Piagam PBB (Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the Charter of the United Nations). Dalam deklarasi tersebut secara tegas menyatakan bahwa semua negara menikmati persamaan kedaulatan dan semua negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai anggota masyarakat internasional tanpa membedakan system ekonomi, sosial, dan politik. Deklarasi ini mencantumkan ada 6 point kedaulatan negara, yaitu:

1.Semua negara adalah sama secara yuridis (States are juridically equal);

2.Setiap negara menikmati hak-hak kedaulatan secara penuh (Each state enjoys the rights inherent in full sovereignty);

3.Setiap negara mempunyai kewajiban untuk menghoramati personalitas negara lain (Each states has the duty to respect the personality of other states);

4.Integritas territorial dan kemerdekaan politik setiap negara tidak dapat diganggu gugat (the territorial integrity and political independence of state are inviolable);

5.Setiap negara mempunyai hak bebas memilih dan mengembangkan sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya(Each states has the right freely to chose and develop its political, social, economic, and cultural system);

Setiap negara mempunyai kewajiban untuk menaati dengan sepenuhnya dan itikad baik terhadap kewajiban internasional dan hidup berdampingan secara damai dengan negara lain (each state has the duty to comply fully and in good faith with its international obligation and to live in peace with other states). 


C.Kedaulatan Negara Di Ruang Udara

Persoalan kedaulatan seharusnya dikaitkan dengan suatu analisa tentang mata rantai, yang terdiri dari aspek-aspek politik, ekonomi, dan Hukum Udara. Kalau kita perhatikan dalam perkembangannya masalah hukum selalu tertinggal dari fakta perkembangan politik dan ekonomi (penerbangan sipil). Sebagai contoh, angkatan udara sipil komersial merupakan suatu bisnis yang besar nilai asetnya, mengingat harga pesawat dengan segala prasarananya sampai milyaran dollar Amerika. Angkutan udara sipil dan komersial juga suatu kegiatan internasional, yang menghendaki suatu penilaian bukan saja disegi teknologi, akan tetapi terutama dari segi produktivitas dan efisiensi. 

Dengan adanya kedaulatan di ruang udara maka dunia internasional membentuk Konvensi Paris 1919, yang karena lahirnya Konvensi Paris 1919 maka timbul 2 (dua) teori mengenai kepemilikan ruang udara, teori tersebut adalah:


1.The Air Freedom Theory


Pada teori ini terbagi 3 (tiga) kebebasan di ruang udara, yaitu:

a.Kebebasan ruang udara tanpa batas;

b.Kebebasan ruang udara ditambah hak-hak khusus bagi negara kolong (subjacent states);

c.Kebebasan ruang udara ditambah zona territorial bagi pelaksanaan hak-hak negara kolong (subjacent states).



2.The Air Sovereignty Theory

Pada teori ini terbagi 3 (tiga) kedaulatan bahwa negara kolong dapat berdaulat penuh di ruang udara, yaitu:

a.Negara kolong berdaulat penuh terhadap ketinggian tertentu di ruang udara;

b.Negara kolong berdaulat penuh dengan dibatasi hak lintas damai (freedom of innocent passage) bagi navigasi pesawat-pesawat udara asing;

c.Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas.

Perkembangan konsep kedaulatan negara setelah Konvensi Chicago mengalami dua tahap, yakni:

1.Tahap Konperensi Internasional mengenai penerbangan sipil (The Internasional Civil Aviation Confrence) di Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1944. 
Konperensi ini kemudian membentuk suatu organisasi internasional tentang penerbangan sipil (International Civil Aviation Organization yang disebut ICAO). Di dalam Konperensi Chicago, Amerika Serikat dengan bantuan terutama dari negara Belanda telah berusaha dengan sekuat-kuatnya agar prinsip hak lintas disetujui oleh sidang dan kemudian dimasukkan ke dalam pengaturan konvensi yang akan dihasilkan kemudian. Memang jika diteliti pendirian negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat, Belanda dan Inggris, kita dapat menaksir pendirian mereka ini kepada kemajuan teknologi penerbangan, setidak-tidaknya keyakinan negara-negara itu akan kekuatannya di bidang produksi dan penggunaan alat-alat penerbangan, yakni bukankah pada Perang Dunia ke-2 sudah mulai tampak keampuhan mereka di dalam strategi ruang udara, strategi mana telah menentukan jalannya peperangan bagi keuntungan negara-negara sekutu. Sehingga mau tidak mau keampuhan tersebut kemudian akan pula menentukan kekuatan negara itu di ruang udara sehubungan dengan penerbangan komersil di masa damai. 

Usaha kelompok Amerika Serikat di forum pertemuan Konvensi Chicago tersebut tidak memberikan hasil apa-apa karena ternyata telah mendapat tantangan yang kuat dari negara-negara yang tidak menyetujuinya, negara-negara tersebut telah membuat suatu perhitungan jauh kemuka, yakni bahwa perkembangan penerbangan di kemudian hari yang berat sebelah ke satu pihak akan dapat merupakan ancaman dan dominasi bagi kelangsungan hidup bernegara terutama ancaman terhadap keamanan, ekonomi dan komunikasi sehubungan dengan kekuatan negara di ruang udara (air power). 

Bukti-bukti telah diberikan dan tampak sewaktu Perang Dunia ke-2 dimana pihak Nazi Jerman tidak dapat bertahan lebih lama lagi setelah ruang udara dikuasai oleh pihak Amerika Serikat dan sekutunya. 

Masalah lintas ini kemudian lebih diperinci lagi di dalam Konvensi Chicago 1944, tercantum di bawah judul “Flight over Territory of Contracting States”. Pasal 5 tentang hak bagi penerbangan tidak terjadwal, mengatakan: 

Each contracting State agrees that all aircraft of the other contracting States, being aircraft not engaged in scheduled international air services shall have the right, subject to the observance of the terms of this Convention, to make flights into or in transit non-stop across its territory and to make stops for non-traffic purposes without the necessity of obtaining prior permission, and subject to the right of the State flown over to require landing. Each contracting State nevertheless reserves the right, for reasons of safety of flight, to require aircraft desiring to proceed over regions which are inaccessible or without adequate air navigation facilities to follow prescribed routes, or to obtain special permission for such flights.

Pasal 5 ini merupakan akibat dari pada pengakuan suatu kebiasaan internasional mengenai kedaulatan negara di ruang udara, dan menegaskan kembali apa yang tercantum di dalam Konvensi Paris 1919 dan juga apa yang sebelumnya telah merupakan kebiasaan internasional. Jadi penerbangan melalui negara asing bukan penerbangan terjadwal (non-scheduled flight) diperbolehkan tanpa adanya keharusan meminta izin terlebih dahulu atau kalau diperlukan juga melakukan pendaratan untuk keperluan “non-traffic”, asal saja diperhatikan segala ketentuan Konvensi Chicago 1944 atau peraturan nasional demi kepentingan keamanan negara. Kemudian Pasal 6 tentang penerbangan terjadwal, mengatakan yaitu no scheduled international air service may be operated over or into the territory of a contracting State, exept with the special permission or other authorization of that State, and in accordance with the terms of such permission or authorization.

Untuk suatu penerbangan yang terjadwal diharuskan ada izin terlebih dahulu. Dalam hal ini diakui adanya hak negara masing-masing untuk melindungi penerbangan nasionalnya dari persaingan yang tidak seimbang. Ketentuan ini implisit dapat dibaca di dalam pasal tersebut di mana untuk penerbangan dan lintas bagi pesawat udara asing itu dibenarkan kalau telah diperoleh izin terlebih dahulu dan pengaturannya dapat dibaca di dalam International Air Service Transit Agreement, December 7, 1944 dan juga di dalam International Air Transport Agreement, December 7, 1944 yang berisikan kebebasan (freedom). Kemudian dikenal dengan 5 (lima) teori kebebasan (five freedom theory), yaitu:

a.Kebebasan untuk melintas di ruang udara suatu negara;

b.Kebebasan untuk mendarat di suatu negara untuk tujuan teknis;

c.Kebebasan untuk mengangkut dan menurunkan penumpang atau barang dari negara asal pesawat ke negara asing;

d.Kebebasan untuk mengangkut dan menurunkan penumpang atau barang dari negara asing ke negara asal pesawat;

e.Kebebasan untuk mengangkut dan menurunkan penumpang atau barang antara dua negara asing.

Namun dalam perkembangannya pada masa sekarang, teori kebebasan di ruang udara bertambah 3 (tiga) teori tambahan, yaitu menjadi 8 (delapan) teori kebebasan (eight freedom theory), adalah:

f.Kebebasan pengangkutan penumpang, cargo, pos secara komersial dari negara ke-3 melewati tempat pesawat udara didaftarkan kemudian diangkut kembali ke negara tujuan.

g.Kebebasan pengangkutan penumpang, cargo, pos secara komersial semata-mata di luar negara yang mengadakan perjanjian.

h.Kebebasan pengangkutan penumpang, cargo, pos secara komersial dari suatu tempat ke tempat lain dalam satu wilayah negara.

Jika kita membaca Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, maka pasal ini merupakan dasar dari pada kedaulatan negara di ruang udara. Dasar ini dapat dicarikan sumbernya kepada kebiasaan negara-negara untuk menerima dan mengakui adanya hak tersebut. Bunyi Pasal 1 Konvensi Chicago yaitu: The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory. 
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tersebut merupakan refleksi prinsip kedaulatan negara di ruang udara Konvensi Paris 1919, sehingga ruang udara adalah bagian atmosfir bumi yang tertentu dimana terdapat cukup gas udara untuk memungkinkan penerbangan dengan pesawat udara. Jarak ketinggian kedaulatan negara di atmosfir ditentukan oleh kesanggupan pesawat udara mencapai ketinggian tersebut, tergantung teknologi dari pesawat udaranya yang merupakan kemajuan teknologi.

Pasal ini merupakan pasal yang samar-samar karena selama ini telah banyak menimbulkan keragu-raguan dan perbedaan paham di antara negara-negara. Pada mulanya ketentuan di atas telah dimaksudkan untuk mengurangi sengketa diantara negara mengenai hak dan kewajiban negara bertalian dengan kedaulatan di ruang udara. Tetapi apa yang dimaksudkan sebagai suatu ketentuan yang membawa ketegasan akhirnya menjadi sumber keragu-raguan yang baru pula. Sebenarnya keragu-raguan ini merupakan akibat dari pertentangan ideologi antara kelompok Amerika Serikat dan kelompok Uni Sovyet, pertentangan mana tergambarkan di bidang politik, ekonomi, militer dan teknologi penerbangan. 

Kembali kepada Pasal 1 Konvensi Chicago khususnya pada kata “complete and exclusive”, maka timbullah pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kata ini bahwa kedaulatan negara di ruang udara dapat digunakan dan dilaksanakan secara penuh dan eksklusif tanpa memperhitungkan kepentingan negara lain. Namun pada Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 menjelaskan apakah yang dimaksud dengan penuh (complete) adalah negara yang berada di bawah ruang udara mempunyai hak secara penuh atau utuh untuk mengatur ruang udara yang berada di atasnya, dan pada Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 yang dimaksud dengan eksklusif (exclusive) adalah negara lain yang ingin memasuki wilayah udara suatu negara harus meminta izin terlebih dahulu kepada negara kolong tersebut.

Namun demikian kedaulatan yang eksklusif tidak tanpa batas, ada pengecualiannya, yaitu pada Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 yaitu negara berhak membatasi atau melarang (tanpa pemberitahuan terlebih dahulu) melintasnya pesawat udara asing untuk alasan militer atau keselamatan umum di wilayah-wilayah teritorial tertentu bahkan untuk keadaan darurat. 


2.Tahap Setelah Peluncuran Sputnik oleh Uni Sovyet Pada Tahun 1957.

Sputnik I telah diluncurkan oleh Uni Sovyet pada tanggal 4 oktober 1957. Kejadian tersebut telah menggemparkan seluruh dunia dan khususnya mereka yang berperan di bidang teknologi penerbangan antara lain para ahli Hukum Angkasa. Dengan berhasilnya peluncuran itu, manusia bertambah yakin bahwa pada suatu ketika manusia akan sanggup melakukan penerbangan antar planet. Dengan adanya peluncuran Sputnik oleh Uni Sovyet ini pada tahun 1957, timbul persoalan baru yakni apakah lintasan yang dilakukan oleh Sputnik juga mempunyai masalah yang sama dengan pesawat udara yang diatur oleh Konvensi Chicago. Dari penjelasan tersebut di atas jelas bahwa peluncuran Sputnik mempunyai masalah. Perkembangan kemajuan teknik penerbangan telah mempengaruhi pemikiran-pemikiran klasik tentang teori-teori kedaulatan negara di ruang udara. Di dalam rangka pemikiran-pemikiran tersebut timbul dua masalah, yaitu: 

a.Masalah yang Ditimbulkan di Bidang Hukum oleh Peluncuran Sputnik.

Ditinjau dari segi Hukum Angkasa masalah apakah yang timbul dengan diluncurkannya Sputnik tersebut? Dari segi penelitian masalah-masalah yang terjadi pada masa damai, maka satu-satunya pengaturan internasional mengenai penerbangan pada waktu itu adalah Konvensi Chicago 1944. Pengupasan selanjutnya akan dilakukan menurut:

1)Ketentuan Hukum Kebiasaan (Customary Law);
2)Ketentuan-ketentuan konvensi yang ada.

Meneliti masalah dari segi yang pertama, yakni apakah peluncuran Sputnik ini bertentangan dengan ketentuan Hukum Kebiasaan, maka telah merupakan kenyataan dan diterima sebagai doktrin internasional bahwa setiap negara itu berdaulat terhadap ruang udara yang berada di atas wilayah negaranya.

Masalah yang kedua yakni peninjauan menurut ketentuan-ketentuan konvensi yang berlaku dapat dikatakan bahwa satu-satunya konvensi yang ada mengenai penerbangan adalah Konvensi Chicago 1944. Dua hal yang perlu dibahas lebih lanjut adalah:

a)Apakah negara yang meluncurkan satelit itu bukan anggota konvensi;
b)Apakah negara yang meluncurkan satelit anggota konvensi.

Jika negara yang meluncurkan satelit itu bukan anggota, maka dengan sendirinya Konvensi Chicago 1944 tidak mempunyai sangkut-paut dengan kegiatan tersebut, walaupun boleh kita memakainya sebagai pedoman. Penyelesaiannyapun harus dicari pada bidang Hukum Kebiasaan Internasional seperti telah dijelaskan terdahulu. Tetapi kalau negara yang meluncurkan itu anggota dari Konvensi Chicago 1944, maka persoalannya menjadi lain. Menurut Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, setiap negara itu berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Selanjutnya dikatakan bahwa Konvensi Chicago 1944 hanya berlaku pada pesawat udara saja, walaupun sebenarnya konvensi sendiri tidak pernah menjelaskan apa yang dimaksud dengan pesawat udara itu. Penjelasannya ditentukan di dalam lampiran (Annexes) 6, 7 dan 8 pada konvensi. 


b.Beberapa Pandangan Baru Terhadap Teori-Teori Kedaulatan Negara di Ruang Udara.

Peluncuran satelit-satelit bumi, penembakan-penembakan roket dan peluru kendali antar benua yang kemudian disusul oleh penerbangan ruang angkasa ke bulan, peredaran satelit buatan di orbit planet Mars oleh Amerika Serikat dan Uni Sovyet telah membawa pengaruh terhadap perkembangan konsep kedaulatan negara di ruang udara. Kini timbul desakan untuk merumuskan setepat mungkin batasan istilah ruang udara di mana negara itu berdaulat dan penetapan perbatasannya dengan ruang angkasa. Perkembangan ini pada hakekatnya sama sekali tidak merubah prinsip yang tercantum di dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, di dalam perundang-undangan penerbangan nasional serta kebiasaan internasional yang telah merupakan doktrin yang diakui bahwa negara berdaulat di ruang udara di atas wilayahnya secara penuh dan eksklusif. Berbagai pendapat telah diketengahkan oleh para ahli di bidang keangkasaan mengenai masalah tersebut.

Jika kita teliti konvensi-konvensi yang bertalian dengan masalah penerbangan, maka yang paling menonjol adalah Konvensi Chicago 1944 dan Outer Space Treaty 1967. Kedua konvensi ini secara sepintas lalu dapat memberikan gambaran yang menyesatkan kerena di mana Konvensi Chicago 1944 mempersoalkan ruang udara (atmosfir bumi yang berisikan udara), sedangkan Outer Space Treaty 1967 mengatur kegiatan-kegiatan dan cara-cara penggunaan ruang angkasa (yang hampa udara), kita dapat tergelincir untuk menarik kesimpulan seakan-akan di antara kedua ruang itu ada perbatasan yang jelas.